Derita Anak Sulang yang Tak Punya Anus


Yahya Editriyono (7 tahun) sudah memasuki usia sekolah. Tapi dia malu untuk masuk sekolah seperti teman-teman seusianya karena sering diolok-olok punya dua anus. Mengapa demikian?

Yahya, demikian panggilan anak hasil perkawinan pasangan Legiman (Alm) dan Yatmi (29) warga Dukuh Dolongan, Desa Jatimudo, Kecamatan Sulang, kabupaten Rembang ini, waktu lahir memang tidak punya anus.

Saat pertama, Yatmi tidak mengetahui sama sekali kalau anaknya lahir tanpa anus. Dia bingung ketika Yahya menangis tak henti-hentinya meski sudah coba disusui. Sang bayi tetap saja menangis semakin keras.

Satu minggu kemudian baru diketahui kalau Yahya ternyata tidak mempunyai anus. “Pantas saja menangis terus tidak mau berhenti walaupun sudah diberi ASI,” begitu cerita Yatmi mengenang waktu lalu dengan nada sedih.

Melalui usaha yang gigih, sang ibu mencari bantuan agar anaknya dapat menjalani proses operasi di rumah sakit. Yatmi tidak mau kehilangan anak pertamanya itu. Akhirnya, usahanya berhasil dengan bantuan dari warga masyarakat dan kepala desa setempat.

Tepat sepuluh hari setelah kelahiran Yahya, barulah bisa dilakukakan operasi dengan dibuatkan saluran pembuangan pengganti anus di samping perut sebelah kiri. Dokter di Rumah Sakit Mardi Rahayu, Kudus yang menangani operasi tersebut sebenarnya menyarankan agar enam bulan setelah pembuatan saluran pembuangan di perut ini, Yahya kembali dibawa ke rumah sakit untuk dilakukan operasi pembuatan anus. Alasannya, usia anak belum mencapai setahun sehingga operasi anus dapat lebih mudah dilakukan dan nantinya bisa digunakan seperti layaknya anus normal. Namun kenyataannya, dua tahun kemudian baru dilakukan operasi pembuatan anus di dubur.

Kenapa terlambat sampai dua tahun baru dilakukan operasi berikutnya? Yatmi hanya bisa menjawab, “Tidak ada dana untuk operasi.”

“Untuk makan setiap hari saja sudah susah apalagi dapat dana lebih untuk operasi”, kata Yatmi sambil mengeluarkan air mata.

Memang benar Yatmi adalah seorang janda muda. Suaminya meninggal dunia pada saat Yahya berumur dua tahun. Setelah ditinggal pergi sang suami tercinta, Yatmi harus berjuang keras demi menghidupi anaknya dengan menjual mainan anak-anak saat ada acara hiburan dan menjual siomay keliling dengan menggunakan sepeda.

Penghasilannya sangat minim sekali. Rata-rata hanya 10.000 – 15.000 rupiah. “Itu pun masih bernasib baik. Kadang  tidak mendapatkan apa-apa,” katanya sedih.

Kondisi itu pula yang membuat penutupan saluran colustomi, tempat pembuangan yang ada di perut Yahya juga terlambat. Mestinya setelah operasi pembuatan anus, Yahya secara rutin diperiksakan ke dokter untuk mendapatkan terapi agar anus buatan itu bisa berfungsi normal. Namun karena kendala biaya transportasi ke RS Karyadi Semarang, akhirnya selama hampir 5 tahun Yahya dibiarkan memiliki dua saluran pembuangan. Kedua-duanya bisa mengeluarkan tinja saat akan BAB.

Itulah mengapa Yahya sering diolok-olok teman-temannya karena dianggap punya dua anus. Bukan hanya itu, teman-teman Yahya juga sering tidak mau bermain bersama karena bau yang keluar colustomi di perutnya.

Akhirnya sang ibu sadar kalau anaknya menuntut minta sekolah, sedang di sisi lain Yahya merasa malu karena saluran pembuangan di perutnya belum ditutup. Melihat anaknya sedih tidak mempunyai teman bermain, Yatmi juga sedih melihatnya. Namun, apa daya tangan tak sampai. Proses operasi penutupan saluran colustomi tidak mungkin dilakukan karena terbentur biaya.

Namun, harapan Yatmi untuk membawa anaknya menjalani operasi penutupan saluran colustomi akhirnya terjawab juga, setelah Organisasi Rakyat (ORA) Himpunan Kelompok Petani Maju (HKPM) yang bermitra dengan UPKM / CD RS Bethesda wilayah Jawa Tengah berdiri di desa Jatimudo.

Melalui pengurusnya, ORA HKPM mengajukan kepada CD Bethesda agar mau membantu Yahya yang mengalami kendala selama 5 tahun untuk operasi penutupan saluran pembuangan di perutnya.

Pengurus ORA HKPM didukung CD Bethesda membantu Yahya untuk proses pengurusan rujukan menggunakan kartu Jamkesmas ke RS Karyadi Semarang. Setelah itu, melalui proses terapi selama lebih dari tiga bulan agar anus buatan dapat berfungsi dengan baik, maka operasi penutupan saluran pembuangan di perut Yahya berhasil dilakukan.

Jarak tempuh Rembang-Semarang yang bisa memakan waktu tujuh sampai delapan jam perjalanan pulang pergi memang cukup melelahkan. Apalagi terapi yang diberikan kepada Yahya di RS Karyadi selalu dilakukan oleh dokter yang berbeda, kadang-kadang memberikan saran dan solusi yang berbeda sehingga sering membingungkan Yatmi yang tidak paham dunia medis.

Kini, Yahya sudah tidak malu lagi untuk sekolah. Bau tinja diperutnya juga tidak ada lagi karena sudah ditutup dan anusnya sudah bisa berfungsi normal. Teman-temannya pun tidak lagi menjulukinya sebagai anak beranus dua.

Itulah kisah derita Yahya bersama ibunya karena tekanan ekonomi sehingga aspek kesehatan terabaikan. Melalui cerita pilu yang dialami Yahya ini kiranya menjadi perhatian pemerintah bahwa perhatian terhadap masalah kesehatan itu penting, terutama bagi orang miskin. (Sudiman)

Posted on 7 Maret 2011, in Jaminan Kesehatan Masyarakat Miskin. Bookmark the permalink. 2 Komentar.

  1. naudzubillah…astagfirullah….dia tetanggaku. ya allah kuatkan mereka dari semua cobaanmu.

  2. Ya Alloh…….sak iki ws mari mas Admin?

Tinggalkan Balasan ke Soleh OPM Batalkan balasan